Pengunjung Blog

Kamis, 07 Oktober 2010

Kursus Kitab Suci 1


BAGIAN I PENGANTAR INJIL
PENDAHULUAN
Apakah Injil Itu?
Perjanjian Baru merangkum 27 tulisan, yang dengan cara masing-masing, berbicara tentang Yesus Kristus beserta karya dan sabda-Nya. Walaupun demikian, terdapat pula dalam Perjanjian Baru tulisan-tulisan yang mengungkapkan cara hidup dan hal-hal yang berkaitan dengan para pengikut Kristus pada zaman Gereja Purba. Ke-27 tulisan tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.            Injil, tulisan-tulisan yang dalam bentuk cerita mengungkapkan kata dan perbuatan Yesus selama hidup di dunia ini, mulai dari berita kelahiran-Nya sampai pada kebangkitan-Nya dari mati.
2.            Kisah Para Rasul, menceritakan apa yang terjadi sesudah kenaikan Yesus ke surga, meninggalkan dunia ini. Kisah ini sebenarnya melanjutkan Injil yang ditulis oleh Lukas. Dikisahkan juga lahirnya Gereja Perdana, kehidupan jemaat, dan perjalanan pewartaan yang dilakukan oleh para tokoh jemaat awali itu.
3.            Surat, berisi ajaran dan nasihat yang disampaikan oleh para tokoh Gereja Purba kepada jemaat secara umum maupun secara pribadi. Kelompok surat ini terdiri dari 14 surat Paulus dan 7 surat Katolik, surat umum, tanpa disebutkan alamat tujuan surat itu (kecuali 2Yoh. dan 3Yoh.).
4.            Wahyu kepada Yohanes, mengungkapkan serangkaian penglihatan yang berkaitan dengan jemaat Kristiani dan seluruh dunia. Tulisan ini mengarah ke depan, kepada akhir dunia ini.
Umum diterima bahwa keempat injil ditulis antara tahun 65 dan 90 M. Ini berarti bahwa keempat injil ditulis beberapa dekade setelah wafat dan kebangkitan Kristus. Keempat injil ini adalah buku Gereja. Keempatnya mencatat pengalaman iman Gereja mengenai makna kehidupan, kematian dan kebangkitan Yesus dalam dekade-dekade awal setelah kebangkitan-Nya. Keempatnya mencatat khotbah Gereja mengenai Yesus, ibadahnya kepada Yesus, ajarannya mengenai Yesus dan imannya pada Yesus. Para penginjil adalah orang beriman yang menulis untuk kaum beriman, yang berusaha membangun iman komunitas Kristiani.
Jika membaca keempat tulisan yang disebut Injil itu, mungkin akan segera timbul kesan: Keempat injil itu berbeda satu sama lain. Lalu akan timbul pertanyaan: Bagaimana mungkin bagian-bagian Kitab Suci ini berbeda satu sama lain, omongnya tidak sama? Mana yang benar? Perlu diingat bahwa tulisan-tulisan itu tidak dimaksudkan sebagai suatu laporan atau reportase atau bahkan biografi Yesus. Injil berisi kabar gembira keselamatan yang dibawa oleh Yesus Kristus. Kabar gembira ini mula-mula hanya disampaikan secara lisan oleh para rasul dan para pewarta awali (bdk. Kis. 2:14-41; 3:12-26; 10:34-43; 13:16-41); kemudian diungkapkan dalam syahadat atau madah (1Kor. 15:3-5; Flp. 2:6-11).

Terbentuknya Injil
Ada jangka waktu tiga puluh tahun lebih antara wafat serta kebangkitan Yesus dan ditulisnya Injil yang pertama. Yesus wafat di salib sekitar tahun 30 M. Injil Markus kiranya disusun sekitar tahun 64/65 atau barangkali kemudian dari itu. Matius dan Lukas menulis Injilnya antara tahun 70 dan 80 M atau kemudian dari itu. Injil Yohanes baru muncul sekitar tahun 100 M atau dalam permulaan abad II M. Ini berarti bahwa hampir dua generasi orang-orang Kristiani tidak mempunyai Kitab Injil. Jadi, apa yang terjadi dalam waktu yang agak lama itu?
Yesus tidak meninggalkan karangan tertulis. Seluruh informasi mengenai ajaran Yesus dan apa yang dikerjakan-Nya selama hidup-Nya di dunia ini sampai kepada kita lewat orang lain, terutama orang yang bertemu dengan Yesus dan bergaul dengan-Nya dan boleh jadi beberapa orang dari keluarga-Nya. Informan-informan yang paling penting ialah ke-12 orang yang berkeliling dengan Yesus di Palestina selama Yesus berkarya di depan umum. Murid-murid atau rasul-rasul Yesus ini selama kurang lebih tiga tahun bergaul dengan-Nya.
Setelah Yudas, menggantung diri, dipilihlah orang lain sebagai penggantinya dalam dewan para rasul. Dalam Kisah Para Rasul, Petrus menentukan syarat-syaratnya:  “Jadi harus ditambahkan kepada kami seorang dari mereka yang senantiasa datang berkumpul dengan kami selama Tuhan Yesus bersama-sama dengan kami, yaitu mulai dari baptisan Yohanes sampai hari Yesus terangkat ke surga meninggalkan kami, untuk menjadi saksi dengan kami tentang kebangkitan-Nya” (Kis. 1:21-22).
Selama hidup dengan Yesus cara hidup para rasul diubah sama sekali. Tidaklah gampang mereka memahami Yesus. Bahkan di perjalanan terakhir menuju Yerusalem para rasul memperlihatkan bahwa mereka tidak siap-sedia sama sekali untuk menghadapi sengsara yang menimpa Yesus setelah mereka tiba di kota suci (bdk. Mrk. 8:27-33). Bahkan mereka tidak sampai memahami sengsara itu sebelum kebangkitan Yesus dan pengangkatan-Nya ke surga. Baru sesudahnya dan dipimpin oleh Roh Kudus sendiri para rasul berhasil menangkap semua dan memahami misteri Yesus. Mereka sadar bahwa Yesus adalah Anak Allah dan bahwa Allah dengan sengsara dan kebangkitan Yesus benar-benar bertindak untuk menyelamatkan dunia.
Setelah kebangkitan Yesus dan pencurahan Roh Kudus para rasul secara lebih jelas melihat makna dan arti perbuatan dan sabda Yesus, kematian dan kebangkitan-Nya. Mereka diserahi tanggung jawab untuk menjelaskan kepada khalayak yang berkumpul di Yerusalem siapa Yesus sesungguhnya dan apa yang telah dikerjakan-Nya.
Mereka menjelaskan bahwa Yesus sesungguhnya telah membuka zaman Mesias dan zaman pemerintahan Allah. Yesuslah keturunan Daud, yang telah dinubuatkan oleh para nabi. Ia telah membuka gerbang Kerajaan Allah bagi setiap manusia dengan mukjizat-mukjizat yang telah dikerjakan-Nya dan dengan ajaran yang disampaikan-Nya dahulu. Yesus telah membuktikan dan mengajarkan bahwa Dialah Anak Allah yang berkuasa. Karya-Nya di bumi telah diselesaikan-Nya dengan membiarkan diri-Nya disalibkan lalu bangkit dari alam maut. Dengan tubuh-Nya sendiri Yesus telah mengalahkan maut dan membuka jalan menuju hidup kekal. Kini Yesus memerintah surga dan bumi sebagai raja alam semesta.
Pada pewartaan yang mendasar itu mereka menambahkan berbagai informasi mengenai diri Yesus. Dalam hal ini mereka bersumber pada pengalaman mereka selama tiga tahun bergaul dengan Yesus. Mereka menggambarkan penyembuhan orang-orang sakit yang mereka saksikan; kekuatan Yesus yang bahkan melampaui daya manusia biasa. Mereka mengulang cerita-cerita yang telah dibawakan oleh Yesus dan pengajaran yang diberikan-Nya. Mereka menceritakan bagaimana Yesus benar-benar dapat memahami orang lain sampai pada lubuk hati yang paling tersembunyi, lalu membuat mereka melihat dirinya sesuai dengan kebenaran. Khususnya pesan terakhir dari riwayat hidup Yesus diceritakan oleh para rasul dengan panjang lebar. Pesan itu memuncak dalam dua peristiwa, wafat Yesus serta kebangkitan-Nya.
Dengan demikian banyak bahan pewartaan mulai beredar pada jemaat-jemaat Kristiani yang terserak baik di Palestina maupun di luar Palestina. Dengan bahan itu orang yang baru masuk dididik dalam agama barunya dan yang sudah masuk dikuatkan imannya. Tiap-tiap kali para pengajar memilih bahan yang dianggapnya tepat dan cocok untuk mendidik dan meneguhkan jemaat.
Bahan-bahan itu beredar pada jemaat-jemaat Kristiani dan disampaikan dari mulut ke mulut. Para rasul dan pemimpin-pemimpin jemaat lainnya terus mengawasi semuanya supaya kaum beriman sungguh dididik sesuai dengan kebenaran sebagaimana telah menjadi nyata dalam karya dan sabda Yesus. Semua mesti tetap setia pada kebenaran Injil. Ini tentu saja tidak berarti bahwa bahan-bahan itu hanya diulang saja dengan tidak berubah sedikit pun. Sebaliknya bahan yang pada pokoknya tetap sama disesuaikan dengan kebutuhan jemaat, supaya benar-benar meresap ke dalam hati serta menguatkan dan membina kepercayaan dan keyakinan orang Kristiani.
Lama kelamaan macam-macam bahan yang beredar di kalangan jemaat-jemaat Kristiani mulai dikumpulkan dan disusun secara teratur. Muncullah kumpulan nasihat Yesus, perumpamaan Yesus, dan mujizat-mujizat Yesus. Khususnya disusun kisah mengenai akhir hidup Yesus, sengsara, wafat dan kebangkitan. Kumpulan-kumpulan semacam boleh dianggap sebagai usaha pertama untuk menyusun Injil.
Selama para rasul masih hidup dan dapat mengawasi perkembangan jemaat-jemaat itu, belum dirasakan adanya keperluan untuk menuliskan pewartaan mereka sebagai kesaksian terhadap diri Yesus. Lama kelamaan para rasul mulai menghilang, entah karena mati terbunuh entah karena usia lanjut. Maka, menjadi semakin penting bahwa pewartaan para rasul sebagai-mana telah mereka sampaikan dan sebagaimana telah diterima oleh jemaat dijadikan semacam pedoman tetap. Begitulah dan karena itulah Injil mulai digubah dalam bentuk kisah yang agak panjang, lengkap dan teratur. Dalam hal memilih bahan-nya, menyusun, dan mengaturnya penulis sendiri serta pan-dangannya besar pengaruhnya.


YESUS DAN SITUASI ZAMANNYA
Yesus adalah seorang Yahudi yang tinggal di Tanah Palestina. Sejak masa kecil-Nya Ia akrab dengan kisah-kisah penaklukan dan penindasan. Kisah-kisah ini berkaitan dengan berbagai usaha bangsa-bangsa lain untuk menguasai wilayah Palestina dan penduduknya. Roma merupakan penguasa asing terakhir yang menguasai wilayah itu pada tahun 63 SM. Jauh sebelumnya mereka telah ditaklukkan oleh orang Babilonia (539 SM), kemudian Persia dan Yunani. Sementara itu orang Yahudi yakin bahwa mereka adalah bangsa pilihan Allah yang lahir sebagai keturunan Abraham, Ishak dan Yakub. Nenek moyang mereka pernah tinggal dan ditindas sebagai budak di Mesir, namun Allah membebaskan mereka di bawah pimpinan Musa, yang mereka yakini sebagai pendiri agama Yahudi. Orang-orang Yahudi zaman Yesus pun tidak pernah melupakan masa kejayaan Israel di bawah pemerintahan Saul, Daud, dan Salomo, para raja yang menjadi kebanggaan mereka. Pada zaman mereka bangsa Israel hidup merdeka, namun sesudah-nya mereka lebih banyak hidup sebagai bangsa yang dijajah oleh bangsa-bangsa lain.
Walaupun demikian jati diri mereka terpelihara dengan baik dan mereka memiliki keyakinan rohani yang amat mendalam. Keyakinan itu berakar pada perjanjian yang pernah dibuat oleh Allah dengan nenek moyang mereka: Allah telah memilih mereka untuk mengambil peran yang unik dalam sejarah dunia. Mereka pun percaya bahwa pada satu saat Allah akan mengirimkan seorang Mesias yang akan membuat mereka mampu menjalankan peran mereka itu. Namun pada zaman Yesus terdapat berbagai pandangan yang berbeda mengenai Mesias itu. Sebagaian berpandangan bahwa Mesias itu nanti akan mendirikan kembali kerajaan Daud. Sebagian lain berpandangan bahwa Allah akan mengakhiri kehidupan dunia ini dan pada waktu itulah akan mendirikan kerajaan surgawi yang akan diperintah oleh Sang Mesias. Dapat dikatakan bahwa agama dan politik bertalian erat dalam kepercayaan orang Yahudi dan pengenalan dirinya.
Sebelum Yesus lahir penguasa Roma telah menerapkan sistem pemerintahan ganda pada bangsa Yahudi. Dalam sistem ini pemerintah Roma menempatkan seorang pengawas di Palestina sementara orang Yahudi sendiri memiliki pemimpin yang menjalankan pemerintah atas nama pemerintah Roma. Dalam sistem pemerintahan inilah keluarga Herodes Agung berkuasa dan memerintah orang Yahudi. Keluarga Herodes mendapat nama buruk di mata orang Yahudi karena kekejamannya dalam memerintah dan karena menjual warisan Yahudi kepada penguasa asing. Seorang anak Herodes yang bernama Arkhelaus sangat brutal dalam menjalankan pemerintahan di Yerusalem, sehingga Roma menggantinya dengan seorang gubernurnya sendiri, yakni Pontius Pilatus, yang memegang peran penting dalam penyaliban Yesus. Anak Herodes lain, yakni Herodes Antipas, adalah orang yang bertanggung jawab atas kematian Yohanes Pembaptis. Dialah juga yang turut mengolok-olok Yesus ketika Ia diadili sebelum akhirnya disalib.

Kehidupan di Galilea
Yesus adalah seorang Nasaret. Ia menjalani sebagian besar kehidupannya di Desa Nasaret yang terletak di Provinsi Galilea. Sekalipun merupakan desa kecil, Nasaret dengan dua kota besar, yakni Tiberias dan Seforis. Kebanyakan penduduk dua kota itu bukanlah orang Yahudi sedangkan Nasaret adalah sebuah desa pemukiman orang Yahudi. Desa ini miskin dan padat penduduknya. Masalah umum yang dihadapi oleh pen-duduk desa ini adalah kurangnya sumber air dan kurangnya lahan pertanian. Yesus lahir dari keluarga seorang tukang kayu yang mengindikasikan bahwa keluarganya dapat hidup layak.
Pendidikan merupakan hal penting bagi masyarakat Yahudi. Yesus pasti telah belajar Kitab Suci di sekolah desa sampai umur 12 dan di sinagoga setempat. Karena itulah Ia mengerti bahasa Ibrani (bahasa Kitab Suci) dan bahasa Aram (bahasa yang dipergunakan dalam pembicaraan keagamaan). Dapat dipastikan bahwa sebelum mulai berkarya Yesus telah menguasai Kitab Suci dan tradisi Yahudi karena bertahun-tahun telah mempelajari iman dan tradisi Yahudi.
Yerusalem
Yerusalem adalah pusat kehidupan keagamaan bagi orang Yahudi. Para laki-laki Yahudi diwajibkan untuk mengadakan peziarahan ke Bait Allah di Yerusaelm dalam tiga pesta utama agama Yahudi, yakni Paskah, Pentakosta, dan Pondok Daun. Karena jarak Nasaret dan Yerusalem itu tiga atau empat hari perjalanan (sekitar 400 mil), Yesus tidak sering mengadakan perjalanan ke Yerusalem. Dalam Injil dinyatakan bahwa Ia pergi ke Yerusalem pada umur 12 tahun. Ia juga mengunjungi kota itu selama berkarya (satu atau tiga kali bergantung pada Injil). Dalam satu kunjungan ke Bait Allah, Yesus bertindak keras pada mereka yang mempergunakan Bait Allah untuk kepentingan bisnis. Tindakan Yesus ini menjadi salah satu pemicu kebencian para pemimpin agama Yahudi yang kemudian memutuskan untuk membunuh Yesus. Bait Allah yang menjadi kebanggaan orang Yahudi itu dihancurkan oleh pasukan Romawi pada tahun 70 M.
Sosial Politik
Kehidupan masyarakat Yahudi zaman Yesus diwarnai dengan adanya berbagai kelompok dengan ideologi masing-masing. Kehidupan Yesus dan ajaran-Nya perlu ditempatkan dalam rangka keragaman ideologi ini agar tampak perbedaan antara hidup dan ajaran Yesus dengan kehidupan kelompok dari berbagai aliran tersebut. Ada empat aliran utama yang memi-liki pengaruh besar dalam masyarakat Yahudi zaman itu:
1.      Kaum Zelot. Dengan kekuatan fisik (kekerasan dan pemberontakan bersenjata) mereka melawan pemerintah penjajah Roma. Mereka yakin bahwa kemerdekaan bangsa Israel dapat mereka peroleh dengan perjuangan melawan penjajah, tanpa harus menunggu Mesias datang di akhir zaman. Gerakan ini dimulai di Galilea pada tahun 6 SM, ketika Yudas orang Galilea dan Saduk orang Farisi memimpin pemberontakan melawan Quirinus. Jelas bahwa Yesus memiliki pengikut-pengikut yang berasal dari golongan ini. Misalnya, Simon yang disebut orang Zelot. Lebih dari itu, Yesus sendiri berada dalam konflik baik dengan para pemimpin keagamaan Yahudi dan pemerintah Roma. Yesus sendiri dieksekusi sebagai seorang pejuang zelot.
2.      Orang Saduki. Kelompok ini terdiri dari para bangsawan yang termasuk dalam kelas atas dalam masyarakat Yahudi. Mereka mempertahankan kekuasaan dan kekayaannya dengan bekerja sama dengan pemerintah Roma. Walaupun terhitung sebagai kelompok paling kecil dalam masyarakat Yahudi, mereka menduduki sebagian besar kursi dalam Sanhedrin (Majelis Agama Yahudi). Dalam Injil seringkali digambarkan bahwa mereka bersekutu dengan orang-orang Farisi melawan Yesus. Kedua kelompok ini sama-sama melihat Yesus sebagai ancaman. Namun, terdapat beberapa perbedaan yang mendasar antara orang Saduki dan orang Farisi. Orang Farisi menerima Kitab Suci dan tradisi sebagai sumber wahyu (dan dengan demikian sebagai pegangan hidup mereka sedangkan orang Saduki hanya mau menerima Kitab Suci. Tidak seperti orang Farisi yang meyakini adanya kebangkitan badan, orang Saduki, sebagai kelompok paling atas dalam masyarakat Yahudi, hanya peduli pada kehidupan di dunia ini dan menolak keyakinan tentang kebangkitan badan itu. Menurut mereka jiwa manusia mati bersamaan dengan kematian raga. Pertikaian mereka dengan Yesus berkisar pada persoalan kebangkitan badan dan hidup kekal (Mat. 22:23-33; bdk. pengalaman Paulus dalam Kis. 23). Yesus dan ajaran-Nya dipandang sebagai ancaman serius terhadap status dan kekuasaan mereka.
3.      Orang Farisi. Walaupun dalam Injil kelompok ini digambarkan dengan sangat negatif, sebenarnya mereka menaati hukum dan tradisi secara ketat karena yakin semuanya berasal dari Musa. Terdorong oleh keinginan untuk hukum Tuhan, mereka berusaha untuk menjalaninya seteliti mungkin. Untuk menjalankan hukum Taurat, mereka pun menerima peraturan-peraturan yang dibuat sebagai tuntunan untuk menjalankannya. Kebanyakan ahli Taurat berasal dari golongan ini dan ajaran mereka memiliki pengaruh kuat dalam masyarakat Yahudi pada umumnya. Dalam Injil mereka digambarkan sebagai lawan utama Yesus. Mereka melihat Yesus sebagai ancaman karena secara terang-terangan Yesus justru mengajarkan pe-langgaran pada hukum Taurat yang mereka junjung tinggi. Yesus mengutuk ajaran mereka yang kemunafikan mereka karena mereka mengajar tetapi tidak melaksanakan apa yang mereka ajarkan.
4.      Kaum Eseni. Kelompok ini menarik diri dari kehidupan masyarakat Yahudi dan tinggal dalam biara-biara di padang gurun di sekitar Laut Mati untuk menjaga kemurnian mereka sebagai bangsa pilihan Allah. Mereka tinggal di tempat-tempat sunyi dan sebagai orang yang meyakini diri sebagai bangsa Israel sejati mereka menunggu Allah mengakhiri dunia ini dan membangun dunia baru. Mereka setia pada hukum Taurat tetapi muak dengan Bait Allah yang diwarnai dengan upacara-upacara keagamaan. Adanya golongan ini tidak disebut dalam Perjanjian Baru pada umumnya dan Injil pada khususnya namun golongan ini rupanya memberi pengaruh besar pada bentuk-bentuk hidup orang Kristiani pertama.
 (Referensi: Lembaga Biblika Indonesia, Seri Kursus Kitab Suci : INJIL, Jakarta, 2007, hal 11-21)Apabila ada pertanyaan atau saran dan kritik yang membangun dapat dikirimkan ke email kami : kks@biblikaindonesia.com
Diposkan oleh Sekilas YLBI di 11:49 0 komentar
Yesus Sebagai Guru
Di antara kelompok-kelompok tersebut tampak bahwa Yesus tampil sebagai pribadi yang unik. Ia dikenal sebagai seorang rabbi atau guru agama Yahudi dan Ia sendiri tidak melihat diri sebagai pendiri agama baru. Namun, Ia bukanlah seorang rabbi profesional atau seorang ahli kitab yang diangkat secara resmi oleh para pemimpin agama Yahudi.
Seperti para rabbi Yahudi dan para ahli kitab itu, Yesus mengajar di sinagoga; tetapi tidak seperti mereka, Yesus mengajar pula di tempat-tempat terbuka seperti di bukit, padang, dan pantai. Yesus memang tidak menyampaikan ajaran-Nya hanya kepada kelompok orang tertentu saja, tetapi kepada semua orang, termasuk para perempuan, anak-anak, orang-orang sakit, dan bahkan orang-orang yang dikenal sebagai pendosa oleh orang Yahudi pada umumnya. Di tempat-tempat itu semua orang bisa datang dan mendengarkan pengajaran-Nya.
Sebagaimana para guru agama Yahudi, Yesus sangat terinspirasi oleh sikap hormat terhadap Kitab Suci. Walaupun demikian, Yesus tidak mengajarkan rangkaian hukum yang tertulis dalam Kitab Suci sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para guru agama Yahudi, terutama oleh orang-orang Farisi. Ia memang mengajarkan ketaatan pada Kitab Suci, tetapi Ia menentang penafsiran hukum dan peraturan yang formalistis dan kaku. Yesus justru mengajarkan para pendengar-Nya untuk masuk ke dalam jiwa dari seluruh hukum dan peraturan itu dan jangan sampai terjebak pada sikap formalistis.
YESUS MENGAJARKAN KERAJAAN ALLAH
Dalam pengajaran-Nya Yesus memusatkan diri pada Kerajaan Allah. Datangnya Kerajaan Allah inilah yang menjadi pokok pengajaran-Nya. Keyakinan akan datangnya Kerajaan Allah ini sebenarnya telah menguasai pemikiran orang Yahudi pada zaman Yesus. Karena itu, tidak mengherankan bahwa Yesus seringkali juga menggunakan frasa ini. “Kerajaan Allah” termasuk kata yang paling banyak muncul dalam Injil Matius, Markus, dan Lukas. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran Yesus tentang kerajaan Allah itu sungguh-sungguh hidup dalam ingatan orang, hidup dalam hati para pengikut-Nya dan terjadi asosiasi tertentu antara Yesus dan Kerajaan Allah.
Pandangan Yesus tentang Kerajaan Allah
Yang dimengerti oleh orang-orang Israel yang sezaman dengan Yesus mengenai Kerajaan Allah adalah Allah berkuasa sebagai raja yang memerintah manusia. Pada zaman Yesus ini ada dua pandangan tentang Kerajaan Allah dalam pandangan masyarakat Israel.
1.      Pandangan umum orang Yahudi. Kerajaan Allah yang dibicarakan oleh orang Yahudi ini menunjuk pada kerajaan Daud. Mereka percaya bahwa kerajaan Daud yang sudah hancur akan bangkit kembali. Para nabi berulang kali menegaskan hal ini. Para pejuang kemerdekaan Yahudi juga berkeyakinan bahwa perjuangan mereka diarahkan untuk mendirikan kerajaan Allah dan bahwa yang akan memerintah kerajaan Allah itu adalah seorang raja; raja yang akan memerintah kerajaan ini adalah Anak Daud, utusan Allah yang diurapi atau Mesias. Menurut pandangan para rabbi ada cara lain untuk memper-cepat pewartaan kerajaan Allah yang sudah datang secara tersembunyi. Kedatangan hari Sang Mesias dapat didekatkan dengan tobat, setia, pada hukum, mempelajari Taurat dan karya cinta kasih. Kerajaan Allah atas Israel baru dapat benar-benar menjadi kerajaan atas semua orang dan seluruh dunia bila orang-orang bukan Yahudi juga bertobat, artinya menga-kui dan percaya akan Allah Israel yang Esa dan sanggup me-laksanakan hukum-Nya. Pemahaman orang Yahudi tentang kerajaan Allah ini masih hidup dalam keyakinan para rasul Yesus (Luk. 24:21; Kis. 1:6; Mrk. 11:10) mereka menyerukan pemulihan kemerdekaan dan kerajaan serta wangsa Daud.
2.      Pandangan para apokaliptisi.  Dalam pandangan mereka kerajaan Allah adalah sebuah realitas eskatologis belaka yang baru di akhir zaman ditegakkan. Dunia (atau: zaman) ini ter-lalu jahat dan jelek. Setelah zaman ini hilang lenyap dibinasa-kan Allah, Kerajaan Allah akan menjadi kenyataan di bumi baru dan langit baru yang dijadikan Allah. Jadi menurut mere-ka Kerajaan Allah hanya dapat didirikan oleh Allah dengan mengakhiri sejarah dan zaman yang sedang berjalan. Selain itu, mereka seringkali membuat spekulasi-spekulasi tentang saat kapan semuanya itu akan terjadi. Itu dimungkinkan karena menurut keyakinan mereka akhir zaman itu didahului dengan tanda-tanda yang menunjukkan bahwa akhir zaman itu sudah akan datang.
3.      Pandangan Yesus. Bila Yesus mewartakan Kerajaan Allah, Yesus pun memikirkannya secara dinamis dan aktif. Kerajaan Allah ialah Allah yang meraja. Hanya jika manusia mengakui kuasa kerajaan itu serta menaklukkan diri padanya, terciptalah suatu keadaan baru baginya. Ketika Allah meraja, terciptalah suatu tata dunia baru tertentu. Tetapi dalam pandangan Yesus tidak ada sebuah negeri atau daerah (keduniaan) seperti yang lazim dalam pandangan Yahudi yang melihat Kerajaan Allah sebagai suatu negeri yang suci.
Dalam pewartaan-Nya mengenai Kerajaan Allah, Yesus hampir selalu mengacu pada masa depan. Dalam hal ini pandangan Yesus lebih berdekatan dengan pandangan para apokaliptisi. Seperti para apokaliptisi, dengan berkata tentang Kerajaan Allah pandangan Yesus melayang ke depan dan ke akhir za-man. Dalam pandangan Yesus kerajaan itu memang diartikan sebagai suatu kejadian eskatologis, di akhir zaman dan seluruh karya Yesus tertuju pada saat (datangnya Kerajaan Allah) yang walaupun tidak dapat diperhitungkan manusia, pasti tidak lama lagi akan terwujud. Tetapi di lain pihak, kerajaan itu kini sudah menyatakan diri dalam pewartaan dan pekerjaan (ter-utama mukjizat) Yesus sendiri. Dapat dikatakan bahwa ciri khas pemberitaan Yesus terletak pada: Kerajaan Allah di akhir zaman sudah menyatakan diri justru dalam pemberitaan dan karya Yesus.



Bertobatlah! Kerajaan Allah Sudah Dekat
Dalam Mat. 22:11-13 terdapat suatu perumpamaan yang pada intinya adalah: orang yang tidak berpakaian pesta yang mutlak perlu untuk dapat ikut serta dalam perjamuan Allah. Dalam konteks historis pemberitaan Yesus rupanya yang dimaksudkan adalah tanggapan efektif terhadap pemberitaan Yesus itu. Yesus selalu berseru supaya orang bertobat. Bertobat itulah satu-satunya syarat untuk dapat menikmati pemerintahan Al-lah kelak. Perlu dikatakan bahwa di samping Kerajaan Allah yang sudah dekat, pertobatan menjadi pokok utama pemberi-taan Yesus. Kedua hal ini saling berkaitan, tetapi sedemikian rupa sehingga Kerajaan Allah mendahului pertobatan. Allah datang untuk menegakkan pemerintahan-Nya. Dan mengingat Kerajaan Allah ini, orang harus bertobat.
Makna pertobatan yang dimaksudkan oleh Yesus dapat menjadi lebih jelas bila dibandingkan dengan pertobatan yang diserukan oleh Yohanes, yaitu pertobatan yang dikaitkan dengan pengampunan dosa (Mrk. 1:4; Luk. 3:3). Yohanes mengajak supaya orang bertobat karena Kerajaan Allah yang berupa pengadilan sudah dekat (bdk. Mat. 3:2.8-10). Yohanes mengajak orang bertobat dalam kaitannya dengan pengampunan dosa (Mrk. 1:4), sehingga bertobat berarti berpaling, membela-kangi dosa-dosa yang sudah dilakukan, artinya menyesal dan melepaskan dosa (bdk. Luk. 3:12-14). Unsur ini pun termasuk dalam pertobatan yang diserukan oleh Yesus. Hal ini tampak dalam perumpamaan tentang anak yang hilang: ia menjadi sadar akan dosanya dan mau berbalik (Luk. 15:17-18). Hal yang sama juga tampak dalam diri pemungut cukai (Luk. 18:13); tentu Yesus meminta supaya pemungut cukai itu berhenti memeras (Luk. 19:8) dan mengembalikan semua yang telah dirampas dari orang lain (Luk. 19:8). Secara mutlak, bukan setengah-setengah, orang harus melepaskan yang jahat. Hal ini diungkapkan dalam perumpamaan tentang roh-roh jahat yang keluar dari rumah (manusia) yang didiaminya (Mat. 12:43-45). Dalam perumpamaan ini diungkapkan bahwa sete-lah orang meninggalkan yang jahat (roh yang keluar), tetapi tidak dengan sebulat hati (rumah dibiarkan kosong dan ham-pa; yang jahat tidak diganti dengan yang baik) roh jahat berlipat ganda akan kembali dan orang ini akan kembali kepada yang (lebih) jahat. Jadi pertobatan haruslah radikal dan menyeluruh: yang jahat harus dilepaskan seluruhnya dan orang harus membiarkan dirinya dibebaskan seluruhnya oleh yang baik (kehendak Allah).
Walaupun demikian, tetap terdapat perbedaan antara perto-batan yang diserukan oleh Yesus dan yang diwartakan oleh Yohanes Pembaptis. Motif utama pertobatan dalam pandang-an Yesus bukan ketakutan akan pengadilan Allah yang sudah mendekat, melainkan kebaikan hati Allah yang sudah menya-takan diri serta mendekati manusia. Karena itu, orang bertobat karena kegembiraan dan rasa syukur. Bertobat terutama kem-bali kepada Bapa yang baik hati dan penuh belas kasihan seperti tampak dalam perumpamaan tentang anak yang hilang (Luk. 15:22-24.32). Kebaikan Allah mendahului pertobatan yang berupa tanggapan terhadap tindakan penyelamatan Allah. Dengan kata lain, pertobatan bukan prasyarat (seperti yang dimengerti oleh Yohanes Pembaptis) bagi pemerintahan Al-lah, melainkan hasil dari pemerintahan Allah yang sudah mulai membayangi manusia melalui pemberitaan dan tindakan Yesus sendiri. Hal ini paling jelas tampak dalam cerita tentang Zakheus (Luk. 19:1-10). Tindakan Yesus (datang ke rumah-nya) yang mencerminkan sikap Allah ditanggapi dengan perto-batan dari pihak Zakheus yang bersuka cita. Demikianlah per-tobatan yang dituntut oleh Yesus berupa tanggapan terhadap pemerintahan Allah yang sudah mulai dialami manusia. Mere-ka yang percaya kepada Injil bertobat bukan karena takut akan Hakim, tetapi karena sudah mulai merasakan kebaikan Bapa dalam diri Yesus.
YESUS MENGAJAR DENGAN PERUMPAMAAN
Salah satu hal yang menonjol dalam pengajaran Yesus sebagai seorang guru adalah dipergunakannya perumpamaan. Dari seluruh pengajaran Yesus yang tercatat dalam Injil, sepertiga di antaranya berupa perumpamaan. Perumpamaan-perumpama-an yang disampaikan oleh Yesus biasanya cukup sederhana, ceritanya mudah diingat, seringkali mempergunakan gambar-an-gambaran yang biasa ditemukan dalam hidup sehari-hari. Ia membawa para pendengar pada dunia yang akrab yang begitu sederhana dan jelas sehingga baik orang tua maupun anak anak, orang terpelajar maupun tidak terpelajar dapat mengerti. Misalnya, Yesus membandingkan Kerajaan Allah dengan ragi (padahal ragi seringkali dipakai untuk menggambarkan keru-sakan) atau dengan biji sesawi.
Pengertian Perumpamaan
Kata Yunani untuk “perumpamaan” adalah parabole, dari kata kerja para ballo, yang berarti meletakkan berdampingan/ menempatkan sejajar. Dalam suatu perumpamaan dalam Injil ada dua hal yang diletakkan berdampingan: yang satu diambil dari kehidupan sehari-hari dan yang kedua dari ajaran iman yang merupakan pokok ajaran yang hendak disampaikan. Biasanya hal perumpamaan itu sendiri yang disampaikan pada para pendengar sedangkan ajaran yang diumpamakan itu dibiarkan tetap tinggal tersembunyi.
Perumpamaan-perumpamaan Yesus seringkali mengejutkan dan paradoksal. Perumpamaan berangkat dari sesuatu yang sederhana, akrab, dan dapat dimengerti lalu bergerak menuju aspek perbandingan yang seringkali menyentak para pende-ngar dan menantangnya untuk merenungkannya. Misalnya, da-lam perumpamaan orang Samaria yang baik hati: yang tampil sebagai sesama bagi orang yang dirampok itu justru orang Samaria dan bukan imam atau orang Lewi yang lewat di tem-pat kejadian. Mengapa gembala itu berani mengambil resiko untuk mencari satu ekor domba yang terpisah dari kawanan-nya, padahal ia masih memiliki 99 ekor domba lain? Perhatian gembala itu dan kerelaannya untuk mempertaruhkan hidupnya mengajarkan perhatian dan kasih Allah pada anak-anak-Nya.
Tujuan Penggunaan Perumpamaan
Yesus mengatakan kepada para murid-Nya bahwa tidak semua orang dapat memahami perumpamaan-perumpamaan yang di-sampaikan-Nya. “Kepadamu diberi karunia untuk mengetahui rahasia Kerajaan Allah, tetapi kepada orang-orang lain hal itu diberitakan dalam perumpamaan, supaya sekalipun memandang, mereka tidak melihat dan sekalipun mendengar, mereka tidak mengerti” (Luk. 8:10). Apakah Yesus bermaksud untuk mengatakan bahwa Ia memang ingin membuat para pendengar bingung? Tentu saja tidak. Yesus berbicara dari pengalaman-Nya memperhatikan para pendengar. Ia sadar bahwa beberapa orang yang mendengarkan perumpamaan-Nya me-nolak untuk memahaminya, bukan karena mereka secara inte-lektual tidak mampu, tetapi karena hati mereka ditutup dan menolak untuk mendengarkan apa yang dikatakan oleh Yesus. Mereka telah menutup pikiran mereka untuk tidak percaya. Mereka tidak mengerti karena memang tidak mau mengerti. “Orang-orang lain” itu menunjuk pada orang-orang Yahudi yang tidak mau menerima Yesus. Mereka dibedakan dari para murid yang diharapkan dapat mengerti karena telah menerima Yesus.
Allah hanya dapat menyatakan rahasia kerajaan-Nya kepada orang-orang yang rendah hati dan menaruh kepercayaan pada Allah dan kebenaran yang disampaikan-Nya. Perumpamaan Yesus akan menerangi orang hanya bila ia memiliki hati dan pikiran yang terbuka dan siap untuk membiarkan perumpama-an itu berbicara kepadanya. Bila orang membacanya dengan keyakinan bahwa ia telah mengetahui jawabannya, orang itu akan melihat tetapi tidak tahu apa yang terjadi, mendengar tetapi tidak memahami.
Yesus mempergunakan perumpamaan untuk menjangkau hati para pendengar melalui imajinasi mereka. Perumpamaan menantang pikiran manusia untuk memahami seperti apakah Allah itu dan menggerakkan hati untuk menyampaikan tanggapan terhadap kasih dan kebenaran Allah. Secara teram-pil Yesus merangkai kata-kata sederhana untuk memberikan cerita-cerita yang menggugah. Ia mempergunakan hal-hal yang dialami dan dijumpai dalam kehidupan sehari-hari untuk mengajarkan sesuatu yang tersembunyi, sehingga tampak bagi mereka yang memiliki mata untuk melihat dan telinga untuk mendengar. Ia memberikan cerita-cerita yang hidup yang dapat menguasai imajinasi para pendengar secara lebih kuat daripada yang dapat dilakukan dengan artikel, makalah, atau uraian teroretis.
Dengan perumpamaan Yesus membuat kehidupan sehari-hari berbicara mengenai kebenaran iman. Dengan cara demikian orang diingatkan bahwa setiap hal memiliki kaitan dengan Allah dan kerajaan-Nya. Ketika melihat menaburkan benih di ladang, orang bisa teringat pada perumpaman mengenai pena-bur. Ketika meliha orang menebarkan jala di danau, orang akan teringat bahwa kerajaan surga itu seperti pukat yang dila-buhkan di laut lalu mengumpulkan berbagai jenis ikan.
Bagaimana hal-hal dalam kehidupan sehari-hari (seperti mutia-ra, ragi, dan sebagainya) dapat dipergunakan untuk menyam-paikan kebenaran yang abadi?
Yesus mengajar dengan mempergunakan perbandingan. Kerajaan atau pemerintahan Allah itu seperti apa yang terjadi dalam cerita Yesus. Perbandingan itu berkaitan dengan keseluruhan proses dan tidak semata-mata dengan satu benda atau pribadi tunggal.
Dalam perumpamaan Yesus sering mempergunakan per-tentangan. Dalam perumpamaan tentang sepuluh gadis (Mat. 25:1-13) Yesus mempertentangkan lima gadis bodoh dan lima gadis bijaksana. Prinsip pertentangan yang sama dapat ditemukan dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati (Luk. 10:25-37), dua orang anak (Mat. 21:28-32), orang Farisi dan pemungut cukai (Luk. 18:9-14), dan sebagainya.
Selain itu Yesus seringkali juga mempergunakan pertanya-an retoris (pertanyaan yang tidak menuntut jawaban kare-na jawabannya sudah jelas bagi para pendengar). Dalam perumpamaan tentang domba yang hilang (Luk. 15:4) Yesus mengajukan pertanyaan kepada para pendengar, “Siapakah di antara kamu yang mempunyai seratus ekor domba, dan jikalau ia kehilangan seekor di antaranya, tidak meninggalkan yang sembilan puluh sembilan di padang dan mencari yang sesat itu sampai ia menemukannya?” Contoh lain dari penggunaan pertanyaan retoris dapat di-temukan dalam perumpamaan tentang penggarap-pengga-rap kebun anggur (Mat. 21:40), perumpamaan tentang dir-ham yang hilang (Luk. 15:8), dan sebagainya.
Perumpamaan tidak memaksa orang menerima kebenaran yang disampaikan tetapi mengantar pendengar pada pilihan yang harus mereka tentukan berdasarkan pengalaman hidup mereka sendiri. Yesus tidak memberikan jawaban tetapi justru mengajukan persoalan untuk mengajak para pendengarnya berpikir dan menemukan jawaban sendiri. “Dapatkah orang memetik buah anggur dari semak duri…” (Mat. 7:16; Mrk. 2:19; Luk. 5:34). Dari kehidupan nyata, jelas jawabannya ada-lah “tidak dapat.” Dalam perumpamaan tentang orang Sama-ria yang baik hati, Yesus mengajukan pertanyaan, “Menurut pendapatmu, siapakah di antara ketiga orang ini adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” (Luk. 10:36). Melalui pertanyaan ini Yesus mengantar para pende-ngar untuk menentukan pilihan yang jelas: sesama adalah yang menunjukkan belas kasih kepada yang sedang mengalami penderitaan. Maksud utama penggunaan perumpamaan adalah untuk menghasilkan perubahan hati untuk mengambil sikap dan tindakan sesuai dengan pesan yang disampaikan di dalamnya.
Kerajaan Allah dalam Perumpamaan Yesus
Dalam pemberitaan-Nya mengenai Kerajaan Allah, Yesus ba-nyak mempergunakan perumpamaan yang kadang-kadang ha-nya berupa pepatah saja (Mat. 5:13, 14; 15:14; 10:16). Dengan perumpamaan-perumpamaan-Nya Yesus terutama memberi-takan kerajaan Allah dan mengilustrasikan ciri-cirinya.
Kerajaan atau pemerintahan Allah itu diberikan oleh Allah sebagai karunia (Luk. 12:32), sesuatu yang tanpa jasa manusia diwariskan (Luk. 22:29). Dengan kata lain, Pemerintahan Allah tidak ditegakkan atau diwujudkan oleh daya upaya manusia. Hal ini diilustrasikan dengan perumpamaan tentang benih yang dengan sendirinya dan secara rahasia tumbuh (Mrk. 4:26-29), tentang ragi (Mat. 13:33 dst), tentang biji sesawi (Mat. 13:31-32), dan tentang seorang penabur Mrk. 4:1-9).
Masuk ke dalam kerajaan itu merupakan jalan kasih karunia. Hal ini dikemukakan dalam perumpamaan tentang para pekerja di kebun anggur (Mat. 20:1-16). Tampaknya tidak adil jika mereka yang telah bekerja sepanjang hari di bawah terik matahari dan telah menyelesaikan sebagian besar dari pekerjaan berat itu dibayar tidak lebih daripada mereka yang hanya bekerja satu jam saja pada sore hari yang dingin. Namun Yesus ingin menjelaskan dengan cara yang menyolok tentang kebenaran besar bahwa manusia memperoleh kesela-matan bukan karena kerja kerasnya. Allah menyelamatkan ma-nusia bukan karena jasa manusia, melainkan karena Ia menga-sihinya.
Karena merupakan karunia dan ditegakkan hanya oleh Allah sendiri, manusia tidak dapat mempercepat atau memperlambat perwujudan Kerajaan Allah. Hal ini bertentangan dengan pandangan umum orang Yahudi mengenai Kerajaan Allah. Sebaliknya, manusia hanya dapat menerima dan menyambut Kerajaan Allah sebagai seorang anak. Kerajaan itu milik anak-anak dan orang yang seperti anak-anak (Mrk. 10:14-15). Hanya orang yang menyambut kerajaan itu seperti seorang anak kecillah yang akan masuk ke dalamnya; sifat anak-anak yang dipakai sebagai perbandingan adalah sifat tidak berdaya dan tidak berarti, mungkin juga sifat percaya secara mutlak dan sifat sederhana. Anak kecil benar-benar tidak berdaya dan pada zaman dahulu anak kecil dianggap tidak berarti. Anak kecil percaya dengan sepenuh hatinya. Begitu jugalah seharus-nya orang-orang yang menyerahkan diri kepada kerajaan Allah. Sulit bagi seorang kaya untuk masuk kerajaan itu (Mrk. 10:23-25), bukan hanya karena kemiskinan itu mengandung kebajikan, melainkan terlebih lagi karena kekayaan itu selalu menggoda orang ke arah materialisme dan sifat bersandar pada diri sendiri. Orang yang bersandar pada kekuatannya sendiri tidak akan pernah benar-benar percaya kepada Allah.
Kerajaan Allah memang berupa karunia, tetapi memiliki nilai yang paling tinggi. Karena itu, pantaslah bila manusia dengan gembira hati mengorbankan segala sesuatunya untuk mena-klukkan diri padanya. Hal ini diilustrasikan dengan perumpa-maan tentang harta yang terpendam dan mutiara yang ber-harga (Mat. 13:44-46).
Bagaimana Membaca Perumpamaan?
Ketika membaca perumpamaan penting bahwa kita jangan sampai terjebak untuk mencari penjelasan rinci mengenai ceritanya. Kita perlu konsentrasi pada hal pokok yang hendak disampaikan. Kadang detil cerita cukup jelas, tetapi kadang kabur. Misalnya, mengapa orang kaya itu sampai membiarkan hamba yang tidak jujur itu mengurusi harta miliknya (Luk. 16:1-8). Seorang pencerita tidak harus memberikan setiap detil secara sempurna. Setiap perumpamaan memberikan satu pesan pokok. Carilah pesan pokok itu dan jangan mengurusi detilnya. Seringkali dalam perumpamaan Yesus memberikan hal-hal yang mengejutkan dan tak terduga. Hal ini menantang para pendengar dan mengundang kita untuk berefleksi. De-ngan perumpamaan Yesus mau menuntut tanggapan. Jika orang mendengarkannya dengan iman dan kerendahan hati, ia akan dapat memahami apa yang hendak disampaikan oleh Yesus kepada hatinya.
Perumpamaan-perumpamaan Yesus memiliki makna ganda. Pertama, makna literal yang dapat dimengerti oleh setiap orang yang pernah mengalami subjek yang disampaikan. Tetapi dibalik makna literal ini, terdapat makna kedua, makna yang lebih mendalam, yang menyangkut ajaran mengenai kebenaran Allah dan kerajaan-Nya. Misalnya, perumpamaan tentang ragi (lihat Mat. 13:33) melukiskan perubahan yang terjadi dari adonan menjadi roti karena adanya ragi yang dicampurkan. Dengan cara yang sama, orang diubah oleh kerajaan Allah jika ia membiarkan Firman dan Roh-Nya untuk berkarya di dalam hatinya. Sebaliknya, ia pun dipanggil men-jadi ragi untuk mengubah masyarakat tempat ia hidup.

YESUS MENGADAKAN MUKJIZAT
Pada zaman-Nya Yesus tidak hanya dikenal sebagai guru, tetapi juga sebagai pembuat mukjizat. Ia menyembuhkan orang sakit, mengusir roh-roh jahat, memberi makan lima ribu orang, meredakan angin ribut, dan sebagainya. Tetapi pada zaman-Nya, Yesus bukanlah satu-satunya pembuat mukjizat. Ada tukang sihir yang mampu membuat banyak keajaiban; ada juga dukun yang menyembuhkan orang sakit.
Pengertian Mukjizat
Kata “mukjizat” merupakan terjemahan dari kata Yunani dynameis (dalam injil-injil Sinoptik) dan semeia (dalam Injil Yohanes). Kata “dynameis” pada dirinya sendiri berarti kekuatan, kekuasaan. Bila dipakai sehubungan dengan mukjizat, kata ini berarti kekuatan rahasia yang bekerja melalui orang yang melakukan pekerjaan yang luar biasa itu. Kata “semeia” lebih berarti sebuah peristiwa atau kejadian yang kurang biasa yang menyatakan atau memperkenalkan sesuatu yang lain.
Orang biasanya mengatakan bahwa mukjizat adalah kejadian yang berlawanan dengan hukum alam. Tetapi pengertian ini tidak tepat bila diterapkan pada Kitab Suci. Para penulis Kitab Suci dan orang-orang sezamannya tidak tahu menahu tentang hukum alam. Dalam Kitab Suci mukjizat adalah suatu peris-tiwa atau perbuatan yang kurang biasa dan karenanya menarik perhatian dan oleh orang yang percaya dapat dimengerti seba-gai pernyataan kekuasaan Allah sebagai penyelamat yang de-ngan jalan itu dunia jasmani menyatakan kuasa penyelamatan-Nya.
 Tidak perlu bahwa kejadian atau perbuatan itu tidak dapat diterangkan dengan hukum alam; yang perlu hanyalah bahwa bagi orang yang percaya peristiwa atau kejadian itu diartikan sebagai campur tangan Tuhan. Memang kejadian atau peristiwa yang dikatakan sebagai mukjizat selalu menarik perhatian dan bukanlah sesuatu yang biasa-biasa saja. Walaupun demi-kian, kejadian atau perbuatan yang luar biasa itu baru dapat dimengerti sebagai mukjizat bila diartikan demikian dengan iman.
Bagaimana Yesus Mengadakan Mukjizat
Dalam mengadakan mukjizat Yesus tidak bertindak dengan daya magis seperti seorang tukang sihir. Dalam Injil ada kalanya Yesus memakai alat dan isyarat dalam mengusir roh-roh jahat dan menyembuhkan penyakit yang mengingatkan praktek-praktek yang dilakukan para tukang sihir yang terda-pat dalam cerita-cerita pembuat mukjizat dalam dunia Yunani. Dalam menyembuhkan Yesus juga bekerja dengan kontak jas-maniah. Ia mengulurkan tangan, menjamah orang, meletakkan tangan atas orang yang sakit atau kerasukan roh jahat (Mrk. 8:23; Luk. 13:13; Mrk. 1:41; Mat. 9:29 dll) untuk menyalurkan daya penyembuhannya kepada si sakit. Ia memasukkan jari ke dalam telinga dan memakai air ludah yang dicampur tanah (Mrk. 7:33; 8:23; Yoh. 9:6-7) dan melumaskannya pada anggo-ta tubuh yang sakit. Ia dapat menghardik atau menegur roh jahat (Mrk. 1:25; 9:25). Ketika tindakan Yesus tidak segera membawa hasil, Ia perlu mengulang tindakannya (Mrk. 8:22-26). Semua tindakan Yesus ini mengingatkan praktek dan sarana yang lazim dipakai para eksorsis dan para penyembuh di zamannya dan Yesus mirip dengan seorang dukun.
Walaupun ada banyak kemiripan antara tindakan Yesus dengan tindakan para tukang sihir, ada perbedaan yang menyo-lok di antara keduanya. Yang dimaksudkan adalah bahwa tindakan Yesus sangat sederhana dan bersahaja dibandingkan dengan manipulasi dan keanehan-keanehan dalam cerita-cerita lain itu: Yesus terutama menyembuhkan dengan firman-Nya yang berkuasa (Mrk. 1:41; 2:10-11; 3:5; 4:39; 5:41). Para tukang sihir biasanya memakai rumus rahasia (dengan mema-kai kata-kata yang tidak dapat dimengerti maknanya). “Efata” (Mrk. 7:34) atau “Talita-kum” (Mrk. 5:41) bagi pembaca Yunani mirip dengan lafal magis. Tetapi sebenarnya kata-kata ini adalah kata bahasa Aram yang lazim dan penginjil segera memberikan terjemahannya dan hal ini menghindarkan para pembacanya dari pemahaman yang keliru.
Para nabi pembuat mukjizat dalam Perjanjian Lama (1Raj. 17:14; 18:24, 36-37, 42; 2Raj. 2:21, 4:33) biasanya berdoa atau langsung menunjuk Allah sebagai yang mengerjakan mukjizat-mukjizat. Para rabbi Yahudi pun melakukan hal yang sama bila mereka mengadakan mukjizat. Sebaliknya Yesus tidak pernah menyerukan Allah atau firman Allah atau menunjukkan kepada-Nya sebagai yang melakukan mukjizat. Yesus sendiri dan atas nama-Nya sendirilah mengusir roh-roh jahat dan menyembuhkan orang sakit (bdk. Mrk. 1:41; 2:11; 5:41). Bahwa Yesus bertindak dengan kuasa-Nya sendiri inilah yang membuat mukjizat-mukjizat-Nya membuat jengkel orang-orang sezaman-Nya, terutama para pemuka agama Yahudi (bdk. Mrk. 6:2-3; Mat. 21:15; 8:27; 9:34). Orang Yahudi hanya bersedia menerima mukjizat bila hal itu dikerjakan oleh Allah. Orang yang menganggap bahwa dengan kekuatannya sendiri mengadakan mukjizat dianggap menghujat Allah dan layak dihukum mati (bdk. Im. 20:6, 27; Mat. 9:3 dst).
Yesus tidak pernah mengadakan mukjizat demi kepentingan-Nya sendiri; Ia hanya memanfaatkan kekuatan-Nya demi kepentingan orang lain: demi pemberitaan Kerajaan Allah. Hal ini tampak jelas ketika di salib Yesus diejek demikian: “Orang lain Ia selamatkan, tetapi diri-Nya sendiri tidak dapat Ia selamatkan (Mat. 27:42; Mrk. 15:31). Olokan ini mengandai-kan bahwa Yesus belum pernah mengadakan mukjizat untuk membela dan menolong diri-Nya sendiri. Dan Yesus selalu bertindak untuk menanggapi prakarsa orang lain dan bukan atas prakarsa-Nya sendiri. Ia tidak pernah seolah-olah mencari-cari kesempatan untuk mengadakan mukjizat. Dalam hal menyembuhkan penyakit, tindakan Yesus selalu berupa tang-gapan atas kepercayaan orang. Kepercayaan itu menjadi sema-cam syarat mutlak bagi mukjizat Yesus, sehingga dapat dika-takan bahwa di tempat tidak ada kepercayaan Yesus tidak dapat mengadakan mukjizat (Mrk. 6:5a, 6a). Kepercayaan yang dituntut Yesus itu bukanlah seperti pengertian modern akan “keyakinan yang menyembuhkan.” Yesus menyembuhkan orang tidak dengan kemampuan sugesti karena iman yang ditanyakan Yesus justru iman sanak saudaranya (Mrk. 7:24) atau iman handai taulan si sakit (Mrk. 2:3) dan Mat. 8:5) dan dalam beberapa kasus terjadi penyembuhan jarak jauh (Mrk. 7:24 dan Mat. 8:5). Kepercayaan yang dituntut oleh Yesus bukanlah kepercayaan langsung kepada Yesus sendiri, melain-kan kepercayaan kepada Allah yang berkarya dalam diri Yesus. Walaupun iman tidak secara langsung dipusatkan pada diri Yesus sendiri sebagai pembuat mukjizat, iman itu tetap terikat pada pribadi Yesus, karena melalui Yesus kuasa penye-lamatan Allah menjadi nyata.
Makna Mukjizat Yesus
Bila hanya dipandang sebagai pembuat keajaiban dan pengusir roh-roh jahat, Yesus tidak banyak berbeda dengan para dukun dan tukang sihir yang ada pada zaman itu. Mukjizat-mukjizat itu belum banyak artinya karena masih memungkinkan munculnya banyak penafsiran. Para lawan Yesus menjelaskan mukjizat-mukjizat-Nya dengan menyatakan bahwa daya yang sama dapat dikalahkan oleh daya yang sama (bdk. Mat. 9:34; Yoh. 8:45-52; 10:20).
Keistimewaan mukjizat Yesus terletak pada makna sebagaima-na dimengerti oleh Yesus sendiri dan maknanya itu terikat pada pemberitaan Yesus tentang Kerajaan Allah. Di luar rang-ka itu Yesus menolak mengadakan mukjizat. Hal ini paling terasa dalam sikapnya terhadap orang-orang yang menuntut Yesus mengadakan sebuah tanda (Mat. 16:1 dst; Luk. 11:16, 29). Mereka menuntut Yesus membuat keajaiban-keajaiban untuk membuktikan/menunjukkan bahwa Yesus dan seluruh pemberitaan-Nya sungguh-sungguh berasal dari Allah. Walau-pun demikian, keajaiban yang dibuat Yesus tidak dapat mem-berikan legitimasi kepada Yesus sebab banyak orang menga-dakan mukjizat-mukjizat yang serupa. Barangkali hanya se-buah keajaiban luar biasa yang langsung dikerjakan Allah dapat meyakinkan orang yang tidak percaya pada pemberitaan Yesus.
Yesus menolak membuat “tanda-tanda” semacam itu karena yang terpenting bagi-Nya adalah pewartaan-Nya. Jika pemberitaan Yesus itu ditolak, mukjizat-mukjizat Yesus hanya menjadi keajaiban belaka dan tidak dapat memberikan kepada mereka makna sebagaimana yang dimaksudkan oleh Yesus karena mereka tidak percaya akan pewartaan Yesus. Jika pewartaan itu diterima, makna mukjizat Yesus turut diterima juga. Makna mukjizat-mukjizat itu hanya dapat diterima dalam rangka pewartaan-Nya.
Dasar atau motif utama dalam mengadakan mukjizat adalah pemberitaan Yesus tentang Kerajaan Allah. Firman yang kelihatan (verbum visibile) melayani verbum audibile (firman yang terdengar), yaitu pewartaan Yesus. Verbum visibile itu tidak membuktikan verbum audibile, tetapi seolah-olah menjasmani-kan apa yang dikatakan Yesus tentang Kerajaan Allah yang sudah dekat.
Dua mukjizat yang diadakan Yesus untuk menjasmanikan pewartaan-Nya tentang kerajaan Allah adalah pengusiran roh-roh jahat dan penyembuhan orang sakit. Pada zaman Yesus orang Yahudi juga berpandangan bahwa roh-roh jahat dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Mereka memandang roh-roh jahat sebagai lawan Allah dan karena itu penyakit-penyakit (yang mengurangi daya hidup yang berasal dari Allah dan karenanya dianggap menjauhkan manusia dari Allah) dianggap disebabkan oleh roh-roh jahat itu. Dunia merupakan medan pertempuran antara Allah dan roh-roh jahat (yang dipandang mempunyai suatu kerajaan sendiri, bdk. Mrk. 3:22-24). Penyakit dan penderitaan dialami sebagai tanda bahwa dunia ini dikuasai oleh roh-roh jahat. Kuasa-kuasa jahat itu menghalangi ditegakkannya pemerintahan Allah (bdk. 2Tes. 2:6,7). Sebaliknya Yesus menyembuhkan orang yang sakit dan yang dirasuki roh-roh jahat. Dengan mengusir roh-roh jahat Yesus menyatakan bahwa Allah sudah mengalahkan kuasa jahat itu, sehingga tidak menguasai manusia lagi. Pengusiran setan dan penyembuhan orang sakit menyatakan kekuasaan Allah: Kerajaan Allah yang diberitakan Yesus mulai mewujudnyatakan diri berkuasa untuk mengalahkan kuasa jahat yang merajalela di tengah-tengah manusia. Jadi, melalui mukjizat-mukjizat Yesus, pemerintahan Allah yang berkuasa sudah memasuki dunia ini. Melalui perbuatan Yesus Allah sendiri mencari mereka yang malang dan dikuasai Iblis, mereka yang menurut pandangan umum tidak dapat masuk Kerajaan Allah.
Bagaimana Membaca Mukjizat Yesus
Satu hal yang jelas adalah bahwa mukjizat tidak dapat diperlakukan sebagai bukti keilahian Yesus. Umat Kristiani mengakui ke-Allah-an Yesus dan keyakinan ini merupakan hasil pergaulan mereka dengan Yesus. Umat Kristiani menga-lami sendiri tindak penebusan Allah, karena dalam Kristus Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya. Tetapi umat Kris-tiani yang telah sekian lama bergaul dengan Yesus tidak dapat membuktikan bahwa Allah ada dalam diri Yesus. Ini merupa-kan kebenaran berdasarkan pengalaman perjumpaan.
Mukjizat Yesus juga tidak dapat diperlakukan sebagai contoh tindakan kemanusiaan. Ada tempat bagi himbauan kemanusia-an untuk memperhatikan orang sakit, tetapi tindakan itu bukanlah peniruan lahiriah dari Kristus. Tujuannya adalah memberikan tanggapan atas cinta Allah dalam Kristus dan cinta ini tidak pernah atas dasar sikap kemanusiaan belaka. Cinta itu merupakan pantulan dari cinta Allah yang tak terhingga dalam menanggapi kebutuhan pokok manusia. Dalam hal ini, sakit tidak lebih dari suatu keadaan akan kebutuhan tersebut. Perintah untuk menyembuhkan orang sakit termasuk pesan yang disampaikan Yesus kepada para murid-Nya (Mat. 10:8). Perintah ini sekarang masih dianggap sebagai bagian dari pelayanan kerasulan. Berdasarkan perlaku-an Matius terhadap mukjizat (Mat. 8-9) dan kemudian diikuti dengan pesan kepada para murid dalam Mat. 10, dapat dikata-kan bahwa mukjizat Yesus berkaitan dengan pelayanan kera-sulan sehingga perlu dikembangkan lebih lanjut. Hanya saja Gereja tidak dapat memerintahkan pelayanan penyembuhan ajaib (tindakan Allah) tetapi Gereja harus mengharapkan bahwa setiap hal itu dapat terjadi di tengah-tengah manusia bila Tuhan menghendakinya.
Lalu bagaimana kita seharusnya membaca kisah-kisah mukjizat Yesus? Yang perlu dilakukan adalah menemukan arti mukjizat yang sedang kita hadapi (baik bagi Yesus sendiri maupun bagi para penginjil) kemudian mengaitkan arti terse-but dengan situasi dewasa ini. Para penginjil menaruh minat pada mukjizat bukan sebagai suatu kejadian di masa lampau. Mereka melihatnya sebagai gambaran dari apa yang sedang dilakukan Kristus yang sudah bangkit dalam Gereja pada masa mereka sendiri. Mereka tidak menaruh minat pada orang sakit yang datang atau dibawa kepada Yesus demi kepentingan mereka sendiri. Sebaliknya, mereka memandang orang sakit sebagai contoh dari orang-orang yang mendengarkan pewarta-an Yesus
Dengan berpedoman pada penafsiran para penginjil, kita berusaha melihat bahwa situasi orang lumpuh, orang buta, orang tuli, dan orang mati yang datang atau dibawa kepada Yesus adalah juga merupakan situasi orang modern. Kita mengharapkan bahwa Sabda penyembuhan Yesus menjadi sapaan yang hidup bagi kita. Mukjizat dalam Injil bukanlah merupakan kisah mengenai apa yang terjadi jauh di Palestina dua ribu tahun yang lalu, melainkan pewartaan karya-karya Yesus sekarang ini.

INJIL MATIUS
Siapa Matius
Dalam Injil Markus dan Lukas kita berkenalan dengan nama asli Matius sebagaimana yang diberikan oleh orang tuanya.
“Sesudah itu Yesus pergi lagi ke pantai danau, dan seluruh orang banyak datang kepada-Nya. Lalu Ia mengajar mereka. Kemudian ketika Ia berjalan lewat di situ, Ia melihat Lewi anak Alfeus duduk di rumah cukai, lalu Ia berkata kepadanya: “Ikutlah Aku”. Maka berdirilah Lewi dan meninggalkan segala sesuatu, lalu mengikut Dia” (Luk. 5:27-28).
Baru dalam Injil Matius kita langsung mendengar nama yang terkenal bagi kita.
“Setelah Yesus pergi dari situ, Ia melihat seorang bernama Matius duduk di rumah cukai, lalu Ia berkata kepadanya: “Ikutlah Aku.” Maka berdirilah Matius lalu mengikut Dia” (Mat. 9:9).
Jadi, Matius adalah seorang pegawai pajak. Ia termasuk golongan yang sangat dibenci oleh rakyat. Orang-orang itu disebut dalam Injil sebagai “pemungut cukai”. Para pegawai itu bertugas menarik pajak Negara Roma. Para pemungut bea itu tidak hanya dibenci karena dianggap antek-antek penjajah yang dipergunakan untuk memeras rakyat. Terlebih, mereka dibenci karena dianggap oleh rakyat sebagai koruptor, yang menuntut lebih banyak daripada yang ditentukan oleh pemerintah.
 Kantor Matius terletak di Galelia di pinggir jalan raya yang dari sebelah utara (Siria) menuju ke selatan (Mesir). Dia bertugas menarik bea masuk dan bea ekspor atas barang-barang yang diperdagangkan melalui jalan itu. Adakah Matius begitu rendah hati, sehingga dalam injilnya tidak memberitahukan akibat yang mengharukan dari panggilannya itu? Sebab, tindakan Matius yang pertama ialah memperkenalkan Yesus kepada rekan-rekannya (sekelompok pemungut cukai lain yang sama-sama dihina dan dibenci). Barangkali Matius tidak mem-punyai sahabat-sahabat lain (bdk. Luk. 5:27-32).
Siapakah Penulis Injil Matius?
Adakah Matius benar-benar menggubah injilnya? Pertanyaan ini muncul ketika orang menyadari bahwa injil-injil yang kita miliki tidak ditulis sekaligus, tetapi lama sesudah peristiwanya terjadi.
Di zaman itu tidak semua orang dapat membaca dan ingatan diutamakan daripada tulisan. Bahan yang terkumpul dalam injil beberapa lama disampaikan secara lisan saja. Baru kemu-dian ditulis. Tradisi Kristiani menghubungkan injil pertama dengan Rasul Matius. Tradisi itu tentu saja tidak dapat ditolak begitu saja. Walaupun demikian, tradisi itu bukanlah jaminan mutlak bahwa Matius benar-benar menulis injilnya itu. Injil tidak kurang berharga kalau ternyata bukan Matius yang menulisnya.
Ada tradisi yang mengatakan bahwa mula-mula injil itu diterbitkan dalam Bahasa Aram (bahasa rakyat di Palestina). Banyak ahli tetap menerima tradisi itu. Tetapi, juga ada sementara ahli yang meragukan kebenarannya. Bagaimanapun juga injil dalam Bahasa Yunani itu bukanlah terjemahan dari injil dalam Bahasa Aram. Sebaliknya, dalam menerjemahkan injil dari bahasa Aram itu penggubah terakhir memperluasnya dan menambah macam-macam bahan-bahan baru. Boleh jadi injil dalam bahasa Aram itu adalah tulisan Rasul Matius, sedangkan saduran Yunaninya dikerjakan oleh orang lain. Injil dalam Bahasa Aram itu, seandainya pernah ada, sudah dalam abad II hilang sama sekali.
Ciri-ciri Injil Matius
Di antara keempat Injil, Matius adalah Injil yang paling dikenal jemaat. Kebanyakan bagian Injil yang umum dikenal justru berasal dari Injil ini dan dalam ibadah Gereja zaman itu pun paling banyak dipergunakan. Dan memang Injil Matius itu adalah Injil yang paling luas dan paling lengkap.
Injil ini disusun secara teratur, walaupun tidak menurut urutan waktu. Barangkali keterampilan Matius sehubungan dengan administrasi pajak dan bea cukai membentuk wataknya begitu rupa sehingga suka akan keteraturan dan ketelitian. Matius mengumpulkan dan menyusun perkataan-perkataan dan khot-bah Yesus yang dibawakan pada waktu yang berbeda-beda. Ia menyusun Injilnya sedemikian rupa sehingga Injil itu meru-pakan rangkaian lima khotbah besar (lihat struktur). Matius dengan sengaja berbuat demikian untuk membuat Injilnya sejalan dengan Taurat Musa yang juga terdiri dari lima kitab.
Injil Matius terutama menggambarkan Yesus sebagai seorang guru, Musa yang baru. Tidaklah kebetulan khotbah pertama disampaikan Yesus dari atas sebuah bukit lalu Ia turun. Cara menggambarkan Yesus itu mengingatkan kita kepada Musa yang memaklumkan hukum Taurat kepada umat Israel dari atas Gunung Sinai, lalu turun.
Dalam khotbah besar itu pun dipertentangkan satu sama lain hukum lama dan tuntutan Yesus yang baru. Hukum lama tidak dibatalkan, tetapi disempurnakan, artinya dibawa kepada apa yang sejak awal mula dimaksudkan oleh Tuhan.
“Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek-moyang kita: Jangan membunuh … Tetapi Aku berkata kepadamu: ‘Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum’ (Mat. 5:21-22)”
“Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya” (Mat. 5:27).
Sampai enam kali terulang: “Kamu mendengar firman … Tetapi Aku berkata.” Seluruh khotbah yang panjang itu me-muncak dengan tuntutan yang mendasar ini: “Haruslah kamu sempurna, seperti Bapamu yang di surga sempurna ada-Nya” (Mat. 5:48). Mungkin Matius berpikir tentang kehidupannya dahulu dengan berkata: “Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian?” (Mat. 5:46). Bekas pemungut cukai memang tahu bahwa para koruptor saling mendukung dan menolong!
Ditulis untuk Orang Bekas Yahudi?
Banyak ahli menerima bahwa Matius menulis Injilnya bagi jemaat-jemaat di Palestina, jadi bagi orang Kristiani yang dahulu menganut agama Yahudi. Ini sedikit menerangkan mengapa Matius suka mengutip nas-nas dari Perjanjian Lama. Dapat juga dipahami mengapa ia cukup pedas terhadap pemimpin-pemimpin Yahudi (kaum Farisi dan ahli-ahli Tau-rat). Bagian yang paling pahit di dalam seluruh Perjanjian Baru ialah Mat. 23. Ia menuduh kaum Farisi dan ahli Taurat sebagai orang-orang “munafik.” Dalam Injil Matius kata ini tidak sama artinya dengan kata Indonesia. Yang sesungguhnya dituduh-kan Matius ialah: Kaum Farisi dan ahli-ahli Taurat tidak cukup radikal dalam mengartikan dan melaksanakan hukum Taurat. Dan tuduhan yang sama kiranya dapat dilontarkannya kepada orang-orang Kristiani yang tidak cukup radikal dalam melaksa-nakan tuntutan Yesus sebagaimana disampaikan oleh Matius.
Dengan mengutip nas-nas dari Perjanjian Lama Matius mau menekankan bahwa Perjanjian Lama itu sampai pada kepenuhannya dalam diri Yesus dan karya-Nya. Biasanya Matius mengutip Perjanjian Lama dengan berkata: “supaya genaplah Kitab Suci, firman….” Yang diharapkan oleh seluruh umat Israel dan yang dengan hangat dinantikannya, yaitu Kerajaan Allah yang baru, sudah tiba. Sudah barang tentu Matius sangat kecewa melihat bahwa banyak orang Yahudi tidak sampai percaya. Hal ini memberikan sedikit penjelasan mengapa sikapnya agak negatif terhadap bangsa Yahudi di zamannya dan penduduk Yerusalem.
Struktur
Injil Matius terdiri dari lima khotbah besar. Di sekitar kelima khotbah itu Matius menyusun bahan-bahan lain yang meng-gambarkan bagaimana Kerajaan atau pemerintahan Allah itu sudah mulai menembus ke dalam dunia ini dengan diri Yesus dan karya-Nya.
PROLOG
BAGIAN I:    PEWARTAAN KERAJAAN ALLAH
BAGIAN II: PELAYANAN DI GALILEA
Permulaan karya Yesus (3:1-4:25)
BAGIAN III: PERTIKAIAN DAN PERUMPAMAAN
Khotbah di bukit (5-7)
Bagi para pewarta (10:1-11:1)
BAGIAN IV: PEMBENTUKAN KELOMPOK MURID
BAGIAN V: YUDEA DAN YERUSALEM
EPILOG
  1. Kisah Sengsara (26:1-27:66)
  2. Kisah Kebangkitan (28:1-20)
  3. 26:1-28:20
Bagaimana Membaca Injil Matius?
Baiklah orang mulai dengan membaca khotbah di bukit. Sebab, khotbah itu paling mampu mengganggu orang dan membangkitkannya dari tidur. Orang akan menyadari betapa radikal dan mutlak tuntutan Yesus terhadap mereka yang mau menakhlukkan diri kepada pemerintahan Allah untuk memperoleh keselamatan. Dari pihak lain diri Matius, bekas pe-mungut cukai, pemeras dan koruptor, menjadi bukti yang paling jelas bahwa Yesus datang untuk menyelamatkan orang berdosa. Dan Ia pun membuat orang berdosa sanggup menanggapi tuntutan-tuntutan Injil-Nya. Karena perkataan Yesus disertai kekuatan cinta kasih-Nya, tuntuntan-tuntutan-Nya mampu mengubah permukaan bumi.
Dalam kenyataan Matius mengabdi kepada Raja Herodes yang harus memungut pajak dari rakyatnya dan menyerahkannya kepada pemerintah Roma sebab ia menjadi raja karena campur tangan pemerintah Roma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar